Oleh: Rizky N. Firman
“Pariaman Tadanga sunyi,
karena Tabuik mangkanyo ramai”.
Begitulah sebuah kutipan lagu dengan bahasa Minang yang saya dengar di dalam
angkutan kota Padang yang menuju Kota Pariaman. Walaupun saya lahir di Kota
Medan, sedikit saya mengerti bahasa Minang, maklum saja tetangga saya mayoritas
bersuku Minang. Jauh hari saya mempersiapkan untuk pergi ke Pariaman guna
melihat Tabuik. Tabuik merupakan tradisi unik yang berasal dari Pariaman.
Tradisi ini sangat populer di kalangan masyarakat se-Sumbar maupun Nasioanal.
Menurut berbagai sumber yang saya baca, kata
Tabuik berasal dari bahasa Arab yang diartikan sebagai ‘kerenda’. Akan tetapi,
walaupun terdengar sedikit Horor, tradisi ini sangat bersifat menghibur, ini di
perlihatkan dengan ramainya ribuan orang yang berantusias menyaksikan tradisi
ini. Dari remaja hingga orang tua, dari pariaman maupun di luar kota Pariaman
berduyun-duyun turun ke pantai Gandoria di Pariaman tempat berlangsungnya
festival budaya ini. Saya sendiri bertanya dalam hati, kenapa ramai sekali yang
datang, dan apa yang dicari oleh warga selain hiburan di sini.
Saya bertanya kepada salah seorang panita yang
dilihat dari penampilan usianya sudah memasuki kepala lima. Beliau sudah sering
menjadi bagian dalam acara tahunan ini, namun saya tidak sempat menanyakan
namanya karena saya hanya melakukan obrolan sambil lewat kepadanya. Kepada saya
ia mengatakan setelah Tabuik di lempar ke laut, warga akan berebut mengambil
bagian-bagian tubuh Tabuik hingga menyisakan kerangkanya saja, begitulah sang
bapak menjelaskan prosesi akhir dari festival Tabuik.
Masyarakat lokal meyakini
ornamen Tabuik membawa peruntungan dalam berdagang. Namun Tradisi tetaplah
tradisi, dengan bijak pria paruh baya itu menjelaskan sambil menunjuk ke arah Tabuik
dengan jarinya yang diselipi sebatang rokok.
Proses penyambungan mebutuhkan banyak orang,
kerja sama dan saling kordinasi sangat dijunjung tinggi dalam proses ini di
karenakan, ukuran Tabuik yang terbilang cukup besar dan berat. Setelah bagian
badan dan tugu telah tersambung, para warga yang menyaksikan turut bertepuk
tangan sambil meyorakkan kata ‘Hoyak’ yang menjadi yel-yel penyemangat. Dalam
bahasa Minang ‘hoyak’ bermakna menghentakkan atau lebih tepatnya mengguncang.
Tabuik sudah berdiri dengan tegak, lalu
dibenahi bagian sayap dan ornamen belakang yaitu ekor. Proses ini hanya pemasangan
kelengkapan sebelum digiring ke pantai saja. Menjelang penggiringan kita
disuguhi dengan permainan alat musik tradisioanl gendang khas Sumatera Barat
yauitu Gendang Tasa. Mirip dengan
gendang pada umunya yang terbuat dari kulit hewan dan kayu jati sebagai
medianya. Namun alat musik ini tidak berhenti dibunyikan dan selalu
mengenderang ketika Tabuik sudah tegak. Ketika lelah, pemain gendang akan di
gantikan oleh pemain yang lainya, agar bunyi dari suara gendang tidak terputus. Tujuannya mengundang masyarakat
sekitar untu turut meramaikan tempat itu agar lebih meriah lagi.
Tabuik diperingati setiap tanggal 10 Muharam
dalam Kalender Hijriah yang bertepatan pada tgl 25 Oktober 2015, kegiatan ini
dilakuakan sejak tahun 1831. Budaya ini memperingati wafatnya cucu Nabi Muhamad
SAW yaitu Imam Husain, yang wafat dibunuh oleh pasukan militan yang memusuhi
Islam padawaktu itu.
Tradisi ini awalnya tersebar di semenanjung sisi
pantai barat pulau Sumatera, selain Pariaman dan Bengkulu, ada juga di Kota
Meulaboh, Singkil, dan Barus di Sumatera Utara, bahkan kabarnya pernah
diselenggarakan di Kota Pekanbaru. Akan tetapi, di pertengahan abad 18 tradisi
ini mulai hilang dan yang masih melaksankanya hanya di Pariaman dan Bengkulu.
Beda tempat beda pula namanya, jika di pariaman dikenal dengan sebutan Tabuik,
di Bengkulu lebih di kenal dengan sebutan Tabot.
Pembuatan Tabuik terbilang rumit, membutuhkan
waktu 10 hari sebelum hari puncak dalam acara ini. Memasuki pagi sewaktu hari
perhelatan, Tabuik disatukan antara potongan badan dan tugunya, serta juga
pemasangan sayap dan ekor. Proses penyambungan disebut Tabuik Naik pangkat.
Tepat pada pukul 14.00 WIB, Tabuik mulai
digiring sedikit demi sedikit menuju ke arah pantai. Tidak ada yang tahu secara
akurat berapa berat bobot dari sebuah Tabuik. Akan tetapi dari pandangan mata
saya, membutuhkan sekitar 25 pria atau dengan sebutan lokal ‘anak tabuik’ yang
bahu-membahu menggiring benda ini. Selain menggiring, 25 anak tabuik juga harus
menjaga keseimbangan Tabuik yang tingginya sekitar 15 meter dan terdapat bambu
hingga besi sebagai penyangganya.
Ada dua buah Tabuik yang akan digirng ke
pantai, satu di antaranya ialah Tabuik Pasa. Tabuik ini berdiri atas dasar
sumbangsih pedagang pasar, dan yang satunya adalah Tabuik Anak Nagari, tabuik
ini berdiri atas dana anggaran Pemda kota Pariaman. Ukuran kedua Tabuik ini
sama, menurut info yang saya dapat dari warga, Tabuik pernah disajikan dalam
enam buah. Di karenakan anggaran yang minim maka sekarang Tabuik hanya di buat
dua buah saja.
Prosesi
Puncak
Pantai Gandoria sudah ramai di padati ribuan
manusia yang ingin melihat langsung ketika Tabuik akan dijatuhkan ke tepi
pantai. Jumlah manusia yang ingin melihat sangat banyak, titik keramaian di
kota Pariaman terpusat di pantai ini. Tentunya yang menjadi imbas adalah para
pedagang disekitaran pantai, dagangan mereka dengan sekita laku dan meraup
untung yang banyak untuk hari ini. Perputaran uang di sekitaran pantai mencapai
hingga 10 Milyar menurut surat kabar yang saya baca keesokan harinya.
Hari sudah menjelang Magrib, dengan segera
anak tabuik menjatuhkan tabuik ke arah pantai. Ternyata di pantai sudah puluhan
orang berenang untuk menyambut. Ini terkesan membahayakan. Betapa tidak, tabuik
yang terkandung besi maupun bambu mampu seketika dapat menimpa mereka. Benar
saja, satu orang dilarikan ke RS karena tulang rusuknya patah yang sebelumnya diselamatkan
dahulu oleh BPBD setempat. Perjuangan warga sangat menggambarkan dengan apa
yang dikatakan panitia yang berusia paruh baya di atas.
Warga Kota Pariaman khususnya patut kita
apresiasikan dengan antusias mereka. Mereka menjadikan tradisi budaya sebagai
bentuk hiburan yang di nanti setiap tahunnya. Alangkah indahnya jika setiap
warga negara Indonesia mengambil andilnya untuk melestarikan atau palling tidak
menghargai budaya dan tradisi Nusantara dengan tetap menghadiri dan
menyaksikan...