Dokumentasi Dodi |
Sudah tidak asing untuk
didengar sebuah tempat bernama Bukit Lawang yang terletak di Kabupaten Binjai
Sumatera Utara. Setelah menghabiskan waktu seminggu dengan soal-soal yang
diberikan dosen untuk ujian tengah semester, kami memutuskan berlibur ke desa
Bukit Lawang kecamatan Bahorok ini.
Tidak melalui riset
apapun untuk berlibur ke tempat ini, hanya dengan modal kenalan dari orang tua
kami lah kami berangkat. Titik pertemuan
di stasiun kereta Medan, berangkat dengan kereta Srilawangsa pukul 13.30 Wib. Peraturan
baru terhadap tarif ongkos Medan- Binjai adalah 8 ribu rupiah, yang biasanya
hanya 5 ribu rupiah. Hal ini dikarena BBM naik pada 12 November, sehingga tarif
seluruh transportasi di Medan mengalami kenaikan. Berhubung karena weekend, penumpang kereta ke Binjai
sangat ramai. Semua penumpang saling berebut untuk masuk, kami mengalami
kesulitan mencari tempat duduk yang dapat menampung ber- delapan secara
berdekatan. Yang akhirnya kami temukan di gerbong ke tiga setelah melewati dua
gerbong.
Ada rasa rindu pada
suasana kereta dengan pintu yang terbuka kemudian dapat berdiri disampingnya untuk
merasakan angin sambil melihat pemandangan perkampungan. Kereta api sekarang
sudah sangat bagus, tidak ada lagi pintu terbuka, tidak ada lagi pedagang kaki
lima yang berkeliaran menjajakan dagangannya. Pemandangan yang dilewati dapat
dilihat dari balik kaca jendela.
Dokumentasi Dodi |
Pemberhentian terakhir
adalah Binjai. Stasiun Binjai merupakan bangunan tua ala eropa yang bersih dan
nyaman. Kota ini negitu menjaga dan menyimpan sejarah kotanya. Kamar mandinya
juga bersih.
Dari stasiun Binjai
kami menaiki angkot ke lapangan merdeka Binjai untuk mencari angkutan umum ke
Bukit Lawang. Sebuah mobil L300 merah tua tanpa tulisan apapun sedang ngetem menunggu penumpang yang akan
memenuhi mobilnya. Tidak ada AC sehingga kaca jendela harus dibuka lebar agar
tidak pengab, sesak dan tempat duduk yang tidak terlalu empuk. Sesekali hidung
mencium bau ikan asin dari atap mobil yang masuk melalui jendela. Perjalanan Binjai-
Bukit Lawang memakan waktu 2- 3 jam dengan ongkos 15 ribu rupiah per- orang.
Sepanjang perjalanan yang
akan kita lalui adalah pemandangan desa, kebun sawit milik PT. Lonsum juga perkebun
karet. Perjalanan kami tidak terlalu mulus, ada beberapa titik dimana jalan
rusak, sehingga sebuah truck terjebak dalam licinnya lubang. Kemacetan terjadi
selama 20 menit yang membuat suasana semakin gerah.
Dokumentasi Dodi |
Angkot akan berhenti di
terminal dan kami harus jalan kaki sepanjang 1 km ke daerah wisata Bukit
Lawang. Penginapan kami adalah kenalan orang tua kami, perempuan setengah baya
dengan rambut ikal sebahu, ia sangat ramah kami memanggilnya bunda Weni.
Sepanjang perjalanan kami diikuti oleh masyarakat sekitar yang menawarkan diri
menjadi pemandu kami selama disini. Di Bukit Lawang ini ada dua kategori
pemandu. Yang pertama mereka mempunyai sertifikat dan kartu tanda bahwa mereka
sudah lolos ujian menjadi pemandu oleh pemerintah setempat. Mereka ini adalah
orang-orang yang sudah lancar berbahasa inggris. Kategori kedua adalah pemandu
lokal yang tidak mempunyai sertifikat. Untuk kategori yang kedua ini harus hati-hati,
karena sering sekali mereka menaikkan tarif. Kebetulan anak bungsu bunda Weni
seorang pemandu yang sudah mendapatkan sertifikat.
“Terkadang para turis
luar negeri menanyakan identitas kita, apakah sudah punya kartu tanda pemandu,
seperti ini” ujar Joko sembari menunjukkan kartu berwarna kuning kepada kami.
Umurnya masih 25 tahun,
berkulit sawo matang, lancar berbahasa inggris yang ia pelajari secara otodidak
bersama keluarganya. Namanya Joko, ia menjadi pemandu kami. Ia menawarkan
beberapa tempat kepada kami selain pemandian alam Bukit Lawang yang sudah
sangat terkenal, ada hutan observasi orang utan dengan biaya masuk 100 ribu
rupiah, ada Gua Kampret, Gua Swallow, Sei Landak. Kami memutuskan untuk
mendatangi gua Kampret dan Sei Landak.
* * *
Dokumentasi Ja'far |
Minggu, 23 November
2014. Rencana kami berangkat pukul 7 pagi, gagal. Hujan deras turun pukul 4
pagi. Kami menunggu redanya hujan sampai pukul 9 pagi. Menuju Gua Kampret kita
melewati derasnya sungai pemandian alam Bukit Lawang dengan titi gantung.
Hotel-hotel tempat penginapan yang asri, kebun organik yang menanam jeruk
nipis, buah rambai, mahoni, yang ditanam warga setempat. Selanjutnya perjalanan
ini ditemani dengan bunga-bunga hutan yang warna-warni, kebun karet dan kebun
sawit warga, jalanan yang becek karena baru saja hujan.
Memasuki Gua Kampret
ini dikenakan administrasi 10 ribu per- orang, yang dijaga oleh pemuda setempat
di depan pintu gerbang gua. Menuju mulut gua, jalanannya akan lebih licin dan
lembab harus hati-hati, jika salah melangkah dapat jatuh ke jurang. Namun, tidak
begitu susah karena jalur jalan ini sudah dibentuk seperti tangga. Selain itu,
sebelah kiri dan kanan jalur banyak akar-akar pohon yang dapat dijadikan
pegangan untuk mendaki.
Batu-batu besar dengan lubang
yang menjadi pintu masuk menyambut kami. Gelap. Dan untuk Menyelusuri keindahan
gua ini menggunakan penerangan senter yang disiapkan bunda Weni untuk kami. Hawa
dingin dan lembab akan langsung terasa di kulit. Mata kita akan dimanjakan
dengan indahnya stalagtit dan stalagmit yang bertebaran di gua ini. selain
keindahan batu, kita akan melihat indahnya pemadangan cahaya matahari yang
menembus melalui celah-celah bebatuan gua ini.
Dokumentasi Damas |
Kami terus berjalan ke
dalam gua, para kalelawar sedang bergelantungan di atap gua, bau kotoran
Kampret sangat menyengat sehingga membuat sesak di ruangan luas dan sangat
gelap, inilah Gua Kampret itu. Tak berapa lama dari ruangan itu kami sampai pada
ujung gua. Tempat yang cukup terang, karena matahari menembus gua ini. kami
istirahat sejenak.
Perjalanan kami berlanjut
dengan melewati sepetak cahaya yang disinari matahari. Kami menuju gua kedua
yaitu Shate Cape. Sama seperti gua
Kampret, gua ini juga sangat gelap dan lembab. Kami istirahat di dalam ruangan
gua yang lebar dan terang bebatuan lembab dan berlumut menjulang tinggi, di
bagian atas terbuka sehingga kita dapat melihat cahaya matahari yang remang
karena dihalang daun-daun.
Untuk kembali pulang,
kami menyusuri kembali jalan masuk tadi. Harus tetap hati-hati terutama saat
berpijak pada bebatuan, karena sangat licin.
Perjalanan kami tidak
sampai pada gua. Joko mengajak kami untuk menikmati dinginnya air Sei Landak
atau Sungai Landak. Pemandian alam yang satu ini tidak terlalu jauh dari gua
Kampret. Sekitar 15 menit dengan berjalan kaki melewati perkebunan sawit dan
karet, kami sampai di Sei Landak.
Air hijau yang dingin,
beraliran deras, banyak bebatuan, dan dikelilingi hutan karet. Kami memilih
meletakkan barang-barang kami di batu-batu yang berada di tengah sungai dan
mengakibatkan aliran sungai menjadi dua jalur.
Kami membersihkan diri
disini. Sei Landak jauh lebih indah dibandingkan dengan pemandian alam Bukit
Lawang yang sangat terkenal itu. Keindahan Sei Landak ini belum banyak yang
tahu. Sehingga belum banyak pelancong datang ke tempat ini.
Tuhan menciptakan alam
untuk dinikmati para manusia. Manusia hanya diminta menjaga dan merawat alam
yang dititipkan di dunia ini. Mari kita jaga alam kita, cintai mereka seperti
mereka mencintai kita dengan memberikan kebutuhan yang kita inginkan. Jangan
biarkan Tuhan marah melalui alamnya.
(Ka & Damas)
Tags
CumaKomunitas